Pariwisata Indonesia antara Peluang dan Tantangan: Anatomi Pariwisata Budaya

Pendahuluan

       Pariwisata Indonesia menempatkan budaya-budaya daerah sebagai salah satu andalan produknya. Hal ini terkait dengan potensi budaya yang berbeda-beda di setiap daerah. Budaya yang beraneka ragam terdiri dari unsur kesenian, tradisi, ritual agama dan unik memiliki potensi daya tarik bagi wisatawan nusantara maupun mancanegara. Sehingga pariwisata budaya mempunyai peluang besar menjadi salah satu fokus pengembangan pariwisata yang sangat strategis.
       Dalam UU No. 10 Tahun 2009 ditegaskan bahwa budaya adalah salah satu sumber daya pembangunan pariwisata nasional. Penegasan ini bermakana luas, antara lain:
  1. Perlu pemaknaan baru dalam arti pemanfaatan untuk daya tarik yang tidak semata-mata bernilai kultural tetapi juga nilai kemanusiaan dan ekonomi.
  2. Budaya perlu dilestarikan untuk kepentingan generasi mendatang sekaligus sebagai identitas jati diri bangsa dalam pergaulan internasional.
       Amanat undang-undang tersebut merupakan tantangan yang besar bagi setiap warga negara dan organisasi atau lembaga untuk mengarahkan gerak perjalanan pengembangan pariwisata nasional.

Identifikasi Masalah

       Masalah yang cukup menonjol adalah fakta bahwa pengelolaan pariwisata budaya secara umum belum maksimal dan selalu membutuhkan inovasi yang lebih kreatif. Ada dua kecenderungan pengelolaan destinasi pariwisata budaya yang perlu mendapatkan perhatian lebih khusus, antara lain:
  1. Destinasi pariwisata masih lebih mengandalkan objek daya tarik pariwisata budaya seperti apa adanya atau kurang dikelola (underutilized) dengan menerapkan manajemen strategis yang berorientasi pada rasionalitas bisnis secara berkelanjutan.
  2. Destinasi pariwisata budaya yang sudah memasuki fase dewasas (mature) dikelola dengan pertimbangan minimal terhadap daya dukung ekonomi, sosial, ekologi dan budaya. Objek daya tarik pariwisata dikembangkan secara berlebihan (over-utilized), sehingga sangat potensial mengancam keberlanjutan nilai kemanfaatannya, tidak hanya bagi pemangku kepentingan di destinasi tetapi juga bagi wisatawan sendiri.

Perspektif Produk dan Pasar

       Dari sisi permintaan pasar tampaknya bahwa motif berwisata bergeser secara signifikan setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, dari perburuan pelesiran berbasis tiga S (three S’s), yakni sea, sun, sand, menuju pencarian pengalaman yang utuh dan mencerahkan. Para ahli (Weiler dan Hall, 1992) menggambarkan hal ini sebagai pergeseran perilaku wisatawan yang dari pencarian produk-produk standar berskala massal (high volume production of standard commodities) ke produk –produk unik yang beragam dan bermutu tinggi (high value production of unique commodities).

1. Event Budaya sebagai Komoditas

       Budaya dan tradisi adalah salah satu sumber perbedaan yang mendasar antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain, sehingga ia dengan mudah dijadikan objek pemenuhan kebutuhan terhadap pengayaan pengalaman hidup. Dalam konteks ekonomi, budaya dan tradisi tersebut diperlakukan sebagai komoditas, yakni jasa yang dipertukarkan antara wisatawan sebagai penikmat dan komunitas lokal sebagai penyedia.
       Daya tarik pariwisata budaya sangat kuat untuk mengikat perhatian wisatawan mancanegara di berbagai destinasi pariwisata. Kekuatan daya tarik budaya terlihat ketika banyak wisatawan mengunjungi destinasi tersebut secara berulang (repeater).
       Daya tarik yang begitu kuat pada events budaya perlu dipertahankan dengan memberikan variasi-variasi atraksi. Artinya, destinasi pariwisata harus menghindari kecenderungan untuk memproduksi dan mengembangkan atraksi yang sejenis dan monoton agar wisatawan tidak mudah jenuh dan menghindari persaingan tidak sehat antar destinasi.
       Hal lain yang sering luput dari perhatian adalah potensi bias tindakan praktis di dalam pengembangan pariwisata budaya. Potensi bias dalam penyelenggaraan pariwisata budaya akan terjadi ketika masyarakat begitu tergantung pada selera dan keinginan wisatawan yang menghendaki nilai keaslian dan keunikan atraksi pariwisata. Terpengaruh oleh keuntungan ekonomi dan kontestasi beragam budaya lokal, mereka secara tidak sadar mangabaikan aspek kepantasan (nilai etika dan estetika) di dalam proses pengemasan atraksi pariwisata berbasis budaya tersebut. Kecenderungan perkembangan seperti itu perlu diantisipasi dan langkah-langkah pencegahan yang tepat harus dirumuskan sejak awal. 

2. Tipologi Produk dan Pasar Pariwisata Budaya

       Identifikasi tipologi wisatawan penggemar daya tarik budaya sangat perlu untuk menentukan jenis produk yang akan dikembangkan. Pariwisata etnik misalnya, menciptakan formasi peran tiga faktor utama, yaitu:
  1. Wisatawan adalah mereka yang melakukan perjalanan untuk mencari pengalaman yang tidak dapat diperoleh dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Penyedia jasa (the touree) adalah mereka yang memodifikasi perilaku untuk memenuhi selera wisatawan.
  3. Perantara (the middleman) adalah mereka yang menjembatani kedua kelompok tersebut dan memperoleh keuntungan dari interaksi kelompok tadi.
       Sebagai suatu segmen pasar, wisatawan yang terlibat dalam pariwisata budaya memiliki sejumlah tipologi yang relatif jelas atau berbeda dengan tipologi segmen pasar wisatawan yang lain. Misalnya McKercher (2002) mengidentifikasi setidaknya lima tipologi tersebut, yakni:
  1. “the purposeful cultural tourist” atau wisatawan yang semata-mata bertujuan untuk menikmati atraksi dan mempelajari warisan budaya sebagai alasan untuk melakukan perjalanan wisata.
  2. “the sightseeing cultural tourist” atau wisatawan yang ingin menikmati warisan budaya lain sebagai alasan utama perjalanan, tetapi lebih berorientasi pada pencarian pengalaman kesenangan.
  3. “the casual cultural tourist” atau wisatawan yang ingin menikmati warisan budaya lain secara terbatas dan hanya sekadar mengunjungi atraksi secara sekilas.
  4. “the incidental cultural tourist” atau wisatawan yang tidak menjadikan budaya sebagai penentu dalam proses keputusan berwisata, namun ketika berada di destinasi mereka juga mengunjungi atraksi budaya.
  5. “the serendipitous cultural tourist” atau wisatawan yang tidak menjadikan budaya sebagai penentu dalam proses keputusan berwisata, namun ketika ketika berada di destinasi mereka juga mengunjungi atraksi budaya dan memperoleh pengalaman berharga.
       Sedangkan menurut Silberberg (1994) terdapat setidaknya tujuh tipologi wisatawan budaya, yaitu:
  1. Mereka membelanjakan uangnya lebih banyak ketika berwisata.
  2. Mereka menghabiskan waktu lebih lama di lokasi wisata yang dikunjungi.
  3. Mereka lebih menyukai tinggal dan menginap di hotel atau motel.
  4. Mereka sangat menyukai kegiatan belanja souvenir.
  5. Wisatawan lebih berpendidikan tinggi dibandingkan dengan masyarakat umum.
  6. Lebih banyak kaum perempuan daripada laki-laki.
  7. Mereka cenderung berusia agak tua.

3. Isu-Isu Manajemen Pengembangan Daya Tarik

       Struktur kerjasama dan keterpaduan tindakan di lapangan oleh semua pemangku kepentingan sangat menentukan kinerja sekaligus daya saing destinasi maupun produk wisata budaya.
du Cross (2005) membagi pemangku kepentingan menjadi empat, yaitu:
  1. Sektor publik yang merumuskan aturan main, regulasi, prinsip-prinsip dan pedoman umum konservasi.
  2. Sektor swasta yang melakukan identifikasi potensi pasar khusus bagi situs-situs tertentu, kegiatan pelatihan kewirausahaan dan penyediaan dana untuk pemeliharaan dan konservasi asset budaya.
  3. Lembaga swadaya masyarakat dan organisasi antar pemerintah yang dapat memfasilitasi dan mendanai kegiatan konservasi.
  4. Masyarakat itu sendiri yang mewakili kepentingan sendiri untuk mendorong pembagian yang lebih adil atas keuntungan pariwisata budaya.

Pendekatan Pengembangan

       Keberagaman objek daya tarik di suatu destinasi mempunyai keuntungan tersendiri karena beberapa alasan, antara lain:
  1. Daya tariknya bagi wisatawan semakin tinggi karena wisatawan dapat menikmati atau berkunjung ke satu destinasi dengan memperoleh beragam pengalaman
  2. Kegaraman objek daya tarik juga memudahkan pengelolaan sebuah destinasi.
  3. Keragaman berpengaruh terhadap pembentukan citra (imej) positif destinasi pariwisata.
       Kebijakan pengembangan pariwisata budaya sangat tergantung pada dukungan masyarakat. Proses perumusan atau perencaan hingga pelaksanaan kebijakan merupakan siklus kegiatan yang harus melibatkan masyarakat. Besarnya dukungan masyarakat terhadap kebijakan akan ikut menentukan keberhasilan implementasi kebijakan itu sendiri.
       Selanjutnya variabel keragaman, keunikan, potensi konservasi, potensi ekonomi dan potensi pasar bersifat kondisional, dalam arti bahwa hubungannya dengan kebjikan bersifat tidak langsung dan sangat ditentukan oleh dukungan masyarakat.
       Selanjutnya ketiga variabel (SDM, nilai spiritual dan pasar) mendorong kebutuhan pengembangan pariwisata budaya. Kebijakan seperti apa yang hendak dipilih. Di sinilah kehadiran manajemen yang profesional merupakan suatu kebutuhan.

Penutup

       Berdasarkan uraian di atas, maka ada beberapa rekomendasi yang dapat diajukan, antara lain:
  1. Pengembangan pariwisata budaya perlu mempertimbangkan secara cermat apakah suatu produk mampu menawarkan nilai tinggi dalam bentuk pengalaman wisata kepada pasar atau sebaliknya.
  2. Diperlukan suatu wadah kelembagaan yang memfasilitasi kerjasama dan koordinasi serta melibatkan beragam pihak dan profesi yang terkait dengan pengembangan pariwisata budaya. Wujud kongkret dari koordinasi terpadu tersebut adalah manajemen kolaborasi dalam pengembangan, pembiayaan, promosi dan distribusi hasil pariwisata budaya.
  3. Pengembangan pariwisata budaya haruslah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengembangan wilayah secara keseluruhan. Pelestarian dan pemanfaatan potensi atraksi budaya lain merupakan faktor yang sangat penting bagi keberlanjutan pariwisata budaya itu sendiri. Pemanfaatan potensi tersebut harus mampu meminimalkan degradasi kualitas dan meningkatkan daya tarik destinasi pariwisata.
  4. Pengembangan pariwisata budaya sungguh membutuhkan suatu perencanaan yang strategis yang baik.
  5. Sangat perlu untuk menyusun suatu mekanisme pengelolaan setiap entitas destinasi pariwisata budaya berupa regulasi yang mengatur peran, tanggung jawab dan hak semua pemangku kepentingan di dalam pengelolaan sumber daya pariwisata budaya, sehingga daya saing dan keberlanjutan pariwisata dapat terus dipertahankan.

Referensi

Damanik, Janianton. 2013. Pariwisata Indonesia Antara Peluang dan Tantangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Buku Pariwisata Indonesia Antara Peluang dan Tantangan - Janianton Damaik

Post a Comment

1 Comments