Sumber: maxmanroe.com |
A. KONSEP DASAR
Istilah hukum [tentang] orang berasal dari terjemahan kata Personenrecht (Belanda) atau Personal Law (Inggris). Pengertian hukum orang menurut Subekti, adalah peraturan tentang manusia sebagai subjek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk bertindak sendiri, melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang memengaruhi kecakapan itu. Pengertian ini merujuk hukum orang dari aspek ruang lingkupnya, yang meliputi subjek hukum, kecakapan hukum, dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Tetapi apabila dikaji secara mendalam definisi tersebut kurang lengkap karena dalam hukum orang diatur juga tentang domisili dan catatan sipil. Sementara menurut Algra, yang diartikan hukum orang (personenrecth)adalah keseluruhan peraturan hukum mengenai keadaan [hoedaningheden] dan wewenang [bevoegheden] seseorang. Adapun Salim H.S., mendefinisikan hukum orang sebagai keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang subjek hukum dan wewenangnya, kecakapannya, domisili, dan catatan sipil. Dalam definisi ini terkandung dua cakupan yaitu wewenang subjek hukum dan ruang lingkup pengaturan hukum orang. Wewenang hakikatnya merupakan hak dan kekuasaan dari seseorang untuk melakukan perbuatan hukum. Wewenang seseorang dalam hukum dapat diklasifikasi menjadi dua macam, yaitu (1) wewenang untuk mempunyai hak [rechtbevoegdheid], dan (2) wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Hukum (tentang) Orang dalam BW diatur dalam Buku I yang berjudul Van Personen. Menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, menyatakan bahwa pemberian judul tersebut pada dasarnya kurang tepat dan lebih tepat berjudul “Personen en Familie Retch”. Dasar pemikiran tersebut melihat bahwa keberadaan seseorang tidak lepas dari keluarga, selain itu dalam Buku I tersebut diatur juga tentang hukum keluarga.
Dalam hukum perkataan orang persoon berarti pembawa hak, yaitu segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut pula dengan subjek hukum. Sebagaimana pasal 1 BW yang berbunyi: “Menikmati hak-hak keperdataan tidaklah bergantung pada hak-hak kenegaraan”.
Bunyi pasal tersebut mempunyai arti, bahwa semua orang baik yang alam/manusia (naturlijk persoon) maupun badan hukum (recthpersoon) di dalam melaksanakan haknya adalah sama baik mengenai luasnya maupun kewenangannya.
B. SUBJEK HUKUM
Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan bahasa Belanda rechtsubject atau law of subject (Inggris). Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban, yaitu manusi dan badan hukum.
Subjek hukum memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan karena subjek hukum tersebut yang dapat mempunyai wewenang hukum.
Menurut ketentuan hukum, dikenal dua macam subjek hukum, yaitu manusia dan badan hukum.
Selain subjek hukum, dikenal objek hukum sebagai lawan dari subjek hukum. Objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum (manusia atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok (objek) suatu hubungan hukum (hak), karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subjek hukum. Dalam hukum publik (hukum pajak), yang menjadi objek hukum adalah jumlah uang yang harus dipungut dan wajib dibayar oleh wajib pajak.
Dalam hukum perdata yang dimaksud objek hukum adalah benda dengan ketentuan bahwa: (1) Memiliki nilai uang yang efektif; (2) Merupakan satu kesatuan; dan (3) Bisa dikuasai manusia. Objek hukum dalam hukum perdata dibahas secara khusus dalam hukum benda.
1. Konsepsi Manusia sebagai Subjek Hukum
Manusia dalam eksistensinya dapat dipandang dalam dua pengertian, yaitu (1) Manusia sebagai makhluk biologis; dan (2) Manusia sebagai makhluk yuridis.
“Manusia” adalah pengertian “biologis” ialah gejala dalam alam, gejala biologikal, yaitu makhluk hidup yang mempunyai pancaindra dan mempunyai budaya. Sedangkan “orang” dalam pengertian yuridis ialah gejala dalam hidup masyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang atau persoon.
Menurut hukum modern, seperti hukum yang berlaku sekarang di Indonesia, setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi. Artinya diakui sebagai orang atau persoon. Karena itu setiap manusia diakui sebagai subjek hukum (rechtspersoonlijkheid), yaitu pendukung hak dan kewajiban.
Ada dua alasan yang dikemukan oleh para ahli hukum modern tersebut, yaitu: (1) manusia mempunyai hak-hak subjektif; dan (2) kewenangan hukum, yaitu kecakapan untuk menjadi subjek hukum (sebagai pendukung hak dan kewajiban).
Hak dan kewajiban perdata tidak bergantung kepada agama, golongan, kelamin, umur, warga negara ataupun orang asing. Demikian pula hak dan kewajiban perdata tidak bergantung kepada kaya atapun miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam masyarakat, penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya sama.
Manusia sebagai “rechtspersoonlijkheid” dimulai sejak lahir dan baru berakhir apabila mati atau meninggal dunia. Pengecualian mulainya subjek hukum dalam BW disebutkan dalam Pasal 2 yang menentukan sebagai berikut:
(1) “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya”.
(2) “Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah ada”.
Ketentuan yang termuat dalam Pasal 2 BW di atas ini sering disebut “rechtsfictie”. Ketentuan ini sangat penting artinya dalam hal warisan misalnya.
Dalam Pasal 638 BW ditentukan bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia telah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Ini berarti bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia hidup sebagai manusia biasa pada saat pewaris meninggal dunia. Akan tetapi dengan adanya Pasal 2 BW seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya sudah dianggap telah dilahirkan, manakala anggapan ini menjadi keuntungan si anak.
Tetapi bilamana anak dalam kandungan ini kemudian dilahirkan mati, maka ia dianggap sebagai tak pernah ada. Artinya andaikan anak (bayi) itu lahir hidup, meskipun hanya sedetik dan ini dapat ditentukan, maka ia ketika dalam kandungan sudah hidup, sehingga dalam kandungan pun ia sudah merupakan orang yakni pendukung anak.
Syarat-syarat pelaksanaan Pasal 2 BW tersebut menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, memberikan implikasi:
1) Bahwa anak itu telah lahir atau pada saat penentuan hak dilaksanakan, si bayi tersebut telah dibenihkan;
2) Bahwa ia lahir hidup, karena bila ia telah meninggal waktu dilahirkan, maka ia dianggap sebagai tidak pernah ada;
3) Bahwa kepentingannya itu membawa serta tuntutan akan hak-haknya, misalnya warisan dan lainnya.
Sebagaimana telah dikatakan bahwa berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam perdata apabila ia meninggal dunia. Artinya selama seseorang masih hidup selama itu pula ia mempunyai kewenangan berhak. Pasal 3 BW menyatakan: “Tiada suatu hukum pun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak perdata.”
Meskipun menurut hukum tiap manusia sebagai orang, dapat memiliki hak-hak dan kewajiban atau seubjek hukum (rechtspersoonlijkheid), namun tidak semuanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid). Orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan “tidak cakap” untuk melakukan perbuatan hukum adalah:
1) Orang-orang yang belum dewasa, yaitu orang yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan (Pasal 1330 BW jo. Pasal 47 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974).;
2) Orang yang telah dewasa (berumur 21 tahun ke atas) tetapi berada di bawah pengawasan atau pengampuan (curatele); dengan alasa:
· Kurang atau tidak sehat ingatannya (orang-orang yang terganggu jiwanya);
· Pemboros; dan
· Kurang cerdas pikirannya dan segala sebab-musabab lainnya yang pada dasarnya menyebabkan yang bersangkutan tidak mampy untuk mengurus segala kepentingan sendiri (Pasal 1330 BW jo. Pasal 433 BW).
3) Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya orang yang dinyatakan pailit (Pasal 1330 BW jo. Undang-Undang Kepailitan); dan
4) Seorang perempuan yang bersuami, dalam melakukan tindakan hukum harus disertai atau diwakili suaminya.
Jadi orang-orang yang cakap melakukan perbuatan hukum (rechts bekwaamheid) adalah orang yang dewasa dan sehat akal pikirannya serta tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
Orang yang belum dewasa dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele) dalam melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, walinya atau pengampuanya (curator). Sedangkan penyelesaian utang piutang orang yang dinyatakan pailit dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (weeskamer).
Uraian di atas ini dapat disimpulkan, bahwa setiap orang adalah subjek hukum (rechtspersoonlijkheid) yakni pendukung hak dan kewajiban. Namun tidak setiap orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Dan orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid) tidak selalu berwenang untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbevoegheid). Misalnya, seorang perempuan yang bersuami, dalam melakukan tindakan hukum harus disertai atau diwakili suaminya. Dengan demikian rechtsbekwaamheidadalah syarat umum, sedangkan rechtsbevoeghiedadalah syarat khusus untuk melakukan perbuatan hukum.
Sebagai negara hukum, Negara Indonesia mengakui setiap orang sebagai manusia terhadap undang-undang, artinya bahwa setiap orang diakui sebagai subjek hukum oleh undang-undang. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 UUD 1945 yang menetapkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
2. Badan Hukum
Dalam pergaulan hukum di tengah-tengah masyarakat, di samping manusia sebagai pembawa hak, di dalam hukum juga badan hukum (rechtspersoon), atau perkumpulan-perkumpulan dipandang sebagai subjek hukum. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu dapat memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka hakim.
Badan-badan atau perkumpulan tersebut dinamakan badan hukum (rechpersoon), yang berarti orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum. hal berarti pula bahwa badan hukum adalah orang (badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan) yang ditetapkan oleh hukum merupakan subjek di dalam hukum, yang berarti pula dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana halnya dengan manusia (memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka hakim). Dengan demikian badan hukum tersebut singkatnya diperlakukan sepenuhnya sebagai layaknya seorang manusia.
Menurut Chaidir Ali, menyatakan bahwa untuk memberi pengertian tentang Badan Hukum merupakan persoalan teori hukum dan persoalan hukum positif, yaitu:
1) Menurut teori hukum, “apa” badan hukum dapat dijawab bahwa badan hukum adalah subjek hukum, yaitu segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat itu oleh hukum diakui sebagai pendukung dan kewajiban.
2) Menurut hukum positif, “siapa” badan hukum, yaitu siapa saja yang oleh hukum positif diakui sebagai badan hukum.
Menurut Sri Soedewi Masjhchoen, bahwa badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan, yaitu (1) berwujud himpunan, dan (2) harta kekayaan yang disendirikan untuk tujuan tertentu, dan dikenal dengan yayasan.
Selanjutnya lebih jelas Salim HS, mengatakan bahwa badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan (arah yang ingin dicapai) tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukan unsur-unsur badan hukum, antara lain: (1) mempunyai perkumpulan; (2) mempunyai tujuan tertentu; (3) mempunyai harta kekayaan; (4) mempunyai hak dan kewajiban; dan (5) mempunyai hak untuk menggugat dan digugat.
Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu dapat memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka hakim. Sebagaimana halnya subjek hukum manusia, badan hukum ini pun dapat mempunyai hak dan kewaiban-kewajiban, serta dapat pula mengadakan hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking/ rechtsverhouding), baik antara badan hukum yang satu dengan badan hukum yang lain, maupun antara badan hukum dengan orang (natuurlijkpersoon). Karena itu badan hukum dapat mengadakan perjanjian-perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa menyewa dan segala macam perbuatan di lapangan harta kekayaan.
Badan-badan atau perkumpulan tersebut dinamakan badan hukum (rechpersoon), berarti orang (persoon) yang diciptakan oleh badan hukum. hal ini berarti pula bahwa badan hukum adalah orang (badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan) yang ditetapkan oleh hukum merupakan subjek di dalam hukum, yang berarti pula dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana halnya manusia (memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka hakim). Dengan demikian badan hukum layaknya seorang manusia.
Dengan demikian “badan hukum” ini adalah pendukung hak dan kewajiban yang tidak berjiwa, sebagai lawan pendukung hak dan kewajiban yang berjiwa yakni manusia. Dan sebagai subjek hukum yang tidak berjiwa, maka badan hukum tidak dapat dan tidak mungkin berkecimpung di lapangan keluarga seperti mengadakan perkawinan, melahirkan anak, dan sebagainya.
Adanya badan hukum (rechtspersoon) di samping manusia (natuurlijkpersoon) adalah suatu realitas yang timbul sebagai suatu kebutuhan hukum dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat. Sebab, manusia selain mempunyai kepentingan perseorangan (individu), juga mempunyai kepentingan bersama dan tujuan bersama yang harus diperjuangkan bersama pula. Karena itu mereka berkumpul mempersatukan diri dengan membentuk suatu organisasi dan memilih pengurusnya untuk mewakili mereka. Mereka juga memasukkan harta-kekayaan mereka masing-masing menjadi milik bersama, dan menetapkan peraturan-peraturan intern yang hanya berlaku di kalangan mereka anggota organisasi itu. Dalam pergaulan hukum, semua orang-orang mempunyai kepentingan perlu sebagai “kesatuan yang baru” yang mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban anggota-anggotanya serta dapat bertindak hukum sendiri.
a. Teori Badan Hukum
Untuk mengetahui hakikat daripada badan hukum, dapat ditelusuri melalui dua jenis penafsiran yaitu:
1) Penafsiran dogmatis; yaitu dengan mangajukan asas, kemudian dengan abstraksi memecahkan asas umum tersebut (abstracheren);
2) Penafsiran teleologis; yaitu menyelidiki dengan mengingat tujuan peraturan-peraturan yang ada, sampai di mana peraturan itu dapat berlaku bagi badan hukum.
Dalam ilmu pengetahuan timbul bermacam-macam teori tentang badan hukum yang satu sama lain berbeda-beda. Berikut ini hanya dikemukan 5 (lima) macam teori yang sering dikutip oleh penulis-penulis hukum.
1) Teori fictie
Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fictie, yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia. Dengan kata lain bahwa, adanya badan hukum itu merupakan anggapan saja (fictie) yang diciptakan oleh negara, sebab sebenarnya badan/perkumpulan/organisasi tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatakan kehendak sendiri, seperti halnya manusia. Sehingga badan hukum bila akan bertindak harus dengan perantaraan wakilnya yaitu alat-alat perlengkapannya, misalnya; direktur atau pengurus dalam suatu perseroan terbatas atau koperasi. Teori fictie ini dikemukakan oleh Eriedrich Carl Von Savigny (Jerman), dan diikuti juga oleh Houwing, Opzomer (Belanda), dan Salmond.
2) Teori harta kekayaan bertujuan (doel vermogenstheorie)
Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum. Namun, kata teori ini, ada kekayaan (vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat pada tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada yang mempunyainya dan terikat pada tujuan tertentu.
Adanya badan hukum diberi kedudukan sebagai orang disebabkan badan ini mempunyai hak dan kewajiban yaitu hak atas kekayaan dan dengannya itu memenuhi kewajiban-kewajiban pada pihak ke III. Oleh sebab itu, badan tersebut memiliki hak/kewajiban dengan begitu ia sebagai subjek hukum (subjectrum juris). Kekayaan yang dimiliki biasanya berasal dari kekayaan seorang yang dipisahkan atau disendirikan dari kekayaan orang yang bersangkutan dan diserahkan kepada badan tersebur, misalnya; yayasan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan sebagainya.
Penganut teori harta kekayaan bertujuan (Doel vermogens-theorie) adalah Brinz dan Van der Heijden dar belanda.
3) Teori organ [organnen theory] dari otto’van gierke
Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan buuak kekayaan (hak) yang tidak bersubjek. Tetapi badan hukum adalah suatu organisme yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, yanh dapat membentuk kemauan sendiri dalam perantaraan alat-alat yang ada padanya (pengurus, anggota-anggotanya), seperti manusia biasa yang mempunyai organ [pancaindra] dan sebagainya. Misalnya; pada koperasi memiliki alat perlengkapan organisasi seperti RUPS, pengurus dan lain-lain. Pengikut teori organ ini antara lain Otto’van Gierke dan Z.E. Polano.
4) Teori Pemilikan Bersama [Propriete Collectief Theory]
Propriete Collectief Theory disebut juga dengan Gezammenlijke Eigendoms Theorie. Teori ini diajarkan oleh Planiol, Star-Busman, dan Molengraff. Menurut teoti ini hak dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyan bersama-sama anggotanya. Orang orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan dan membentuk pribadi yang dinamakan badan hukum. Oleh karena itu badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis saja. Star busman dan kranenburg adalah pengikut-pengikut ajaran ini.
Teori ini didukung juga oleh Rodolf von Jhering (1818-1892) dengan nama Teori Kekayaan Bersama (Collectief Vermogens Theorie). Teori ini berpendapat bahwa yang dapat menjadi subjek-subjek hak badan hukum, yaitu :
a) Manusia-manusia yang secara nyata ada dibelakangnya;
b) Anggoa-anggota badan hukum; dan
c) Mereka yang mendapat keuntungan dari suatu yayasan (stiftung)
5) Teori Kenyataan Yuridis (Juridische Realiteitsleer Theorie)
Dikatakan bahwa badan hukum itu merupakan suatu realiteit, konkret, riil, walaupun tidak bias diraba, bukan khayal, tetapi kenyataan yuridis. Teori ini dikemukakan oleh Mejersini menekan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja.
Dengan kata lain, menurut teori ini, badan hukum dipersamakan dengan manusia adalah suatu relita yuridis, yaitu suatu fakta yang diciptakan oleh hukum. Jadi adanya badan hukum itu karena ditentukan oleh hukum sebagai demikian itu. Sebagai contoh, koperasi merupakan kumpulan yang diberi kedudukan sebagai badan hukum setelah memenuhi persyaratan tertentu, tetapi Firma bukan merupakan badan hukum karena badan hukum karena hukum itu di Indonesia menentukan demikian (vide Pasal. 18 KUHD). Penganutnya adalah Meyers, Suyling, dan Scolten.
Dengan demikian menurut teori diatas untuk menjadi suatu badan hukum, badan/organisasi/perkumpulan harus memenuhi persyaratan antara lain:
1) Mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya.
2) Disahkan oleh yang berwenang.
3) Mempunyai tujuan.
Suatu perkumpulan dapat dimintakan pengesahan sebagai badan hukum dengan cara :
1) Didirikan dengan akta notaris;
2) Didaftarkan di kantor panitera pendadilan negeri setempat;
3) Dimintakan pengesahan anggaran dasarnya kepada menteri kehakiman; dan
4) Diumumkan dalam berita Negara.
Meskipun teori-teori tentang badan hukum tersebut berbeda-beda dalam memahami hakikat badan hukum, namun teori-teoti itu sependapat, bahwa badan-badan hukum dapat berkecimpung dalam pergaulan hukum dimasyarakat, meskipun dengan beberapa pengecualian.
b. Pembagian Badan Hukum
Menurut Pasal 1653 BW badan hukum dapat dibagi atas 3 (tiga) macam, yaitu:
1) Badan hukum yang “diadakan” oleh pemerintah/kekuasaan umum, misalnya pemerintahan daerah [pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten/kota], bank-bank yang didirikan oleh Negara dan sebagainya.
2) Badan hukum yang di “akui” oleh pemerintah/kekuasaan umum, misalnya perkumpulan-perkumpulan, gereja, dan organisasi-organisasi agama dan sebagainya.
3) Badan hukum yang “didirikan” untuk suatu makasud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan seperti perseroan terbatas, perkumpulan, asuransu, perkapalan dan lain sebagainya.
Kalau badan hukum itu dilihat dari segi wujudnya [sifatnya] maka dapat dibeadakan atas 2 (dua) macam, yaitu: korporasi dan yayasan [stiching].
a) Korporasi (corporatie) adalah gabungan (kumpulan) orang-orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai subjek hukum tersendiri. Karena itu korporasi ini merupakan badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya. Misalnya; perseroan terbatas, perkumpulan asuransi, perkapalan, koperasi, Indonesische Maatschappij Opaandelen (IMA), dan lain sebagainya.
b) Dalam koperasi para anggota bersama-sama merupakan organ yang memegang kekuasaan tertinggi; sedangkan dalam stichting yang memegang kekuasaan tertinggi adalah pengurusnya.
c) Dalam koporasi yang menentukan maksud dan tujuannya adalah para anggotanya; sedangkan dalam stichting yang menentukan maksud dan tujuan adalah orang-orang yang mendirikan yang selanjutnya berada diluar badan tersebut.
d) Pada korporasi titik berat pada kekuasaannya dan kerjanya; sedangkan stichting titik berat pada suatu kejayaan yang ditujukan untuk mencapai sesuatu maksud tertentu.
Badan hukum dapat pula dibedakan berdasarkan bentuknya yang terdiri atas 2 (dua) jenis yaitu: (1) badan hukum publik; dan (2) badan hukum privat.
Di Indonesia kriteria yang dipakai untuk menentukan sesuatu badan hukum termasuk badan hukum public atau termasuk badan hukum privat ada 2 (dua) macam:
a) Berdasarkan terjadinya, yakni badan hukum privat didirikan oleh perseorangan, sedangkan badan hukum public didirikan oleh pemeritah/Negara.
b) Berdasarkan lapangan kerjanya, yakni apakah lapangan pekerjaannya itu untuk kepentingan umum atau tidak. Kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan umum, maka badan hukum tersebut merupakan bdan hukum public. Tetapi kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan, maka badan hukum itu termasuk badan hukum privat.
Badan hukum publik misalnya: Negara Republik Indonesia, pemerintahan daerah [pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/pemerintahan kota], bank-bank Negara, lembaga-lembaga, majelis-majelis, dan sebagainya. Sedangkan badan hukum privat [kependataan], misalnya: perseroan terbatas [PT], koperasi, yayasan, perkumpulan perkapalan asuransi, Indonesische Maatschappij op aandelen, dan sebagainya.
Pembagian badan hukum juga dapat ditinjau dari peraturan yang mengaturnya, yaotu suatu pembagian badan hukum tersebut yang meliputi:
1) Badan hukum dan lapangan hukum perdata BW (badan hukum perdata eropa), misalnya; Zedelijk Lichaan (pasal 1852 s/d pasal 1665 KUHPer), perseroan terbatas [PT] atau Firma [menurut KUHD], dan CV [menurut stb. 1993 No. 108];
2) Badan hukum dalam lapangan hukukm perdata adat [badan hukum bumi putra]; misalnya, Maskapai Andil Indonesia [menurut stb. 1939 no. 570], dan kooperasi Indonesia [menurut stb.1927 no. 1];
3) Badan hukum dalam lapangan hukum islam, misalnya bank syariah, badan amil, zakat, infak, dan sedekah [BAZIS], badan wakaf, dan lain sebagainya.
c. Pengaturan Badan Hukum
BW tidak mengatur secara lengkap dan sempurna tentang badan hukum. Dalam BW ketentuan tentang badan hukum hanya termuat pada buku II titel IX Pasal 1653 sampai dengan 1665 dengan istilah “van zedelijke lichamen” yang dipandang sebagai perjanjian, karena itu lalu diatur dalam buku III tentang perikatan. Hal ini menimbulkan keberatan para ahli karena badan hukum adalah person, maka seharusnya dimasukkan dalam buk I tentang orang (van personen)
Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang badan hukum ini antara lain termuat dalam stb. 1870 no. 64 tentang pengakuan badan hukum; stb. 1927 no. 156 tentang gereja dan organisasi-organisasi agama; stv. 1939 no. 570 jo. 717 tentang badan hukum Indonesia; stb. 1939 no. 569 jo. 717 tentang indonesiasche maatschappij op aandelen; WvK (Wetboek van Koophandel) tentang perseroan terbatas, perseroan perkapalan dan perkumpulan asuransi; Undang-undang no. 12 tahun 1967, tentang pokok-pokok perkoperasian yang mengatur tentang badan hukum koperasi, dan lain-lain. Sedangkan yayasan tidak diatur dalam undang-undang tetapi diatur dalam kebiasaan dan yurisprudensi. Tetapi dengan bergulirnya reformasi, terjadi perubahan dalam aturan hukum-khususnya hukum perdata. Begitupun dengan keberadaan yayasan, artinya keberadaan yayasan selaku badan hukum mendapat payung hukum yang kuat. Terbukti berdasarkan undang-undang nomor 16 tentang tahun 2001 yang mulai berlaku tanggal 6 agustus 2002 diatur tentang yayasan. Tetapi dalam perjalanan undang-undang ini belum menampung sepenuhnya kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, serta terdapat beberapa substansi yang dapat menimbulkan multitafsir, sehingga dilakukan perubahan berdasarkan undang-undang no,or 28 tahu 200 tentang perubahan atas undang-undang nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan.
d. Syarat-Syarat Badan Hukum
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu badan/perkumpulan/ badan usaha, agar dapat dikatakan sebagai badan hukum (rechtspersoon). Menurut doktrin syarat-syarat adalah sebagai berikut dibawah ini:
1) Adanya harta kekayaan yang terpisah
Harta kekayaan ini diperoleh dari peranggotaan maupun perbuatan pemisahan yang dilakukan seseorang/partikelir/pemerintah untuk suatu tujuan tertentu. Adanya harta kekayaan ini dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai apa apa yang menjadai tujuan badan hukum yang bersangkutan. Harta kekayaan ini, meskipun berasal dari pemasukan-pemasukan anggota-anggotanya, namun terpisah dengan harta kekayaan kepunyaa pribadi anggota-anggotanya itu. Perbuata pribadi anggota-anggotanya tidak mmengikat harta kekayaan tersebut. Sebaliknya, perbuatan badan hukum yang diwakili pengurusnya, tidak mengikat hata kekayaan anggota-anggotanya.
2) Mempunya tujuan tertentu
Tujuan tertentu ini dapat berupa tujuan yang idiil maupun tujuan komersial yang merupakan tujuan tersendiri daripada badan hukum. Jadi bukan tujuan untuk kepentingan saut atau beberapa anggotanya. Usaha untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan sendiri oleh badan hukum dengan diwakili organnya. Tujuan yang hendak dicapai itu lazimnya dirumusakan dengan jelas dalam anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
3) Mempunyai kepentingan sendiri
Dalam mencapai tujuannya, badan hukum mempunyai kepentingan sendiri dan dilindungi oleh hukum. Kepentingan-kepentingan tersebut merupakan hak-hak subjektif sebagai akibat dari peristiwa-periatiwa hukum. Oleh karena itu badan hukum mempunyai kepentingan sendiri, dan dapat menuntut serta mempertahankannya terhadap pihak ketiga dalam pergaulan hukumnya. Kepentingan sendiri dari badan hukum ini harus stabil, artinya tidak terikat pada suatu waktu yang pendek, tetapi utuk jangka waktu yang panjang.
4) Ada organisasi teratur
Badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis. Karena itu, sebagai subjek hukum di samping manusia, badan hukum hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantaraan organnya. Bagaimana tata cara organ badan hukum yang terdiri dari manusia itu bertindak mewakili badan hukum, bagaimana organ badan hukum itu dipilih, diganti dan sebagainya, diatur dalam anggaran dasar dan peraturan-peraturan lain atau keputusan rapat anggota. Dengan demikian badan hukum mempunyai organisasi.
Pada akhirnya yang menentukan suatu badan/perkumpulan/himpunan sebagai badan hukum atau tidak, adalah hukum positif yakni hukum yang berlaku pada suatu Negara tertentu. Misalnya di prancis dan belgia, hukum positifnya mengajui perseroan firma badan hukum. Sedangkan di Indonesia hukum positifnya idak mengakui sebagai badan hukum. Demikian juga dengan perseroan komanditer (CV), tidak diakui sebagai badan hukum, meskipun dalam masyarakat sering disangka sebagai rechtspersoon.
Syarat mutlak untuk diakui sebagai badan hukum, himpunan/ perkumpukan/ badan usaha itu harus mendapat “pengesahan” dari pemerintah c.q. Menteri kehakiman (d/h/ Gubernur Jenderal Pasal 1 stb. 1870 no. 64).
e. Perbuatan Badan Hukum
Sebagaimana dikatakan bahwa badan hukum itu adalah subjek hukum yang tidak berjiwa manusia, karena badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri, melainkan harus diwakili oleh orang-orang manusia biasa. Namun orang-orang ini bertindak bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dan atas nama badan hukum. Orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama badan hukum ini disebut “organ” {alat perlengkapan seperti pengurus, direksi dan sebagainya} dari badan hukum, yang merupakan unsur penting dari organisasi badan hukum itu.
Bagaimana organ dari badan hukum itu berbuat dan apa saja yang harus diperbuatnya serta apa saja yang tidak diperbuatnya, semua ini lazimnya dittentukan dalam anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan maupun dalam peraturan-peraturan intern lainnya. Dengan demikian, organ badan hukum tersebut tidak dapat berbuat sewenang-wenang tetapi dibatasi demikian rupa oleh peraturan-peraturan intern yang berlaku dalam badan hukum itu, baik yang termuat dalam “anggaran dasar” maupun “peraturan-peraturan lainnya”.
Tindakan organ badan hukum yang melampaui batas-batas yang telah ditentukan tidak menjadi tanggung jawab badan hukum. Tetapi menjadi taanggung jawab pribadi organ yang bertindak melampaui batas itu. Terkecuali tindakan organ yang melampaui batas tersebut menguntungkan badan hukum, atau organ yang lebih tinggi kedudukannya, kemudian menyetujuinya tindakan itu. Dan persetujuan orang yang berkedudukan lebih tinggi ini harus masih dalam batas-batas komperensinya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang termasuk dalam pasal 1656 BW yang menyatakan:
“Segala perbuatan, untuk mana pengurusnya tidak berkuasa melakukannya, hanyalah mengikat perkumpulan sekadar perkumpulan itu sungguh-sungguh telah mendapat manfaat karenanya atau sekadar perbuatan-perbuatan itu terkamudian telah disetuujui secara sah”.
Kemudian pasal 54 WvK menyatakan :
(1) Tanggung jawab para pengurus adalah tak lebih daripada untuk menunaikan tugas yang diberikann kepada mereka dengan sebaik-baiknya; merekapun karena segala perikatan dengann perseroan, dengan sendiri tidak terikat pad pihak ketiga.
(2) Sementara itu, apabila mereka melanggar suatu ketentuan dalam akta, atau tentang perubahan yang kemudian diandalknnya mengenai syarat-syarat pendirian, maka, atas kerugian yang karenanya telah diderita oleh pihak ketiga, mereka itu, pun masung masing dengan diri sendiri bertangggung jawab untuk seluruhnya.
Jadi jelas dalam hal organ bertindak di luar wewenangnya, maka badan hukum tidak dapat dipertaggungjawabkan atas segala akibatnya, tetapi organlah yang bertanggung jawab secara pribadai terhadap pihak ketiga yang dirugikan. Dus badan hukum yang semula diwakili organ itu tidak terikat dan tidak dimintakan pertanggungan jawabannya oleh pihak ketiga.
Lain halnya kalau organ itu bertindak masih berada dalam batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya, meskipun terjadi kesalahan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum (“onrechtsmatige daad”), badan hukum tetap bertanggung jawab menurut Pasal 1365 BW. Demikian pendapat sebagian besar ahli-ahlihukum seperti Paul Scholten.
Referensi:
Referensi:
Tutik,Titik Triwulan. 2008. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2 Comments
bagus nih artikelnya, terimakasih
ReplyDeletekontennya bagus
ReplyDeletewichempedia